Sunday 12 March 2017

Kuliah di Luar Kota = Lupa Akan Bengkulu?

Sejak kecil, saya sudah merancang impian saya di masa depan. Kuliah di luar kota adalah salah satunya. Dari dulu, saya selalu bermimpi ingin kuliah di Pulau Jawa. Impian ini masih terus berlangsung hingga akhirnya saya benar-benar tamat dari SMA. SNMPTN, SBMPTN, bahkan ujian mandiri saya ikuti dengan selalu memilih universitas yang ada di Pulau Jawa, baik universitas negeri maupun universitas swasta. Tapi akhirnya, impian itu berakhir ketika saya akhirnya lulus di salah satu universitas negeri di Sumatera. Sedih? Tidak. Karena saya begitu bahagia bisa lulus di universitas negeri untuk pertama kalinya.


Sebenarnya, salah satu alasan saya memilih kuliah di Pulau Jawa adalah karena saya ingin bisa hidup mandiri. Pulau Jawa begitu jauh dari provinsi saya, Bengkulu. Apalagi saat itu saya lebih fokus untuk ikut tes masuk universitas-universitas di Yogyakarta, yang untuk mencapainya pun harus dua kali naik pesawat dari Bengkulu. Berbeda dengan tempat saya kuliah sekarang, Palembang, yang terbilang lumayan dekat jika dibandingkan dengan Yogyakarta. Saya adalah ukuran anak bungsu yang sesuai dengan apa yang orang lain biasa pikirkan. Bergantung dengan orang tua, tidak berani sendirian ke mana-mana, bangun pagi harus dibangunkan, dan yang paling saya takutkan dulu adalah pergi jauh ke luar kota sendirian. Jujur, Palembang adalah kota yang tepat untuk perkembangan diri saya. Palembang adalah kota yang keras menurut orang-orang yang pernah saya temui. Dan saya mengakuinya.

Pertama kali merasakan hidup di kota orang dan kota itu adalah Palembang, berhasil membuat saya merasakan culture shock. Aneh? Mungkin. Karena pasti kebanyakan orang berpikir hidup di daerah manapun di Indonesia akan sama rasanya. Anda salah. Budaya daerah lain dengan daerah asal kita begitu berbeda, walaupun dalam konteks saya, daerah ini sama-sama berada di Pulau Sumatera. Semester awal kuliah adalah masa-masa di mana saya berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan. Semester yang cukup berat untuk saya, anak manja yang baru merasakan beratnya hidup di kota orang. Untungnya, saat tahun pertama kuliah, saya tinggal dengan kakak perempuan saya yang sedang menempuh kuliah di tahun akhirnya. Keberadaan kakak sangat membantu saya karena kakak adalah satu-satunya keluarga saya di Palembang.

Dalam masa-masa penyesuaian diri itu, saya kadang teringat perkataan beberapa orang di sekitar saya dulu ketika SMA.

“Kenapa mau jauh-jauh kuliah? Di Bengkulu kan ada.”
“Jurusan ini juga bagus di Bengkulu, kenapa mau jauh sekali ke Pulau Jawa?”

Saat itu, saya sama sekali tidak setuju dengan perkataan mereka. Sebab sebenarnya tujuan saya kuliah di Pulau Jawa adalah karena saya ingin mencoba merasakan kehidupan di sana, di kota besar yang tentu lebih bagus dari Bengkulu. Sekarang? Saya tetap tidak setuju dengan perkataan itu. Tapi sekarang alasan saya berbeda: karena saya ingin banyak belajar dan mengembangkan diri saya di kota orang.

Saya tidak tahu mana yang paling berpengaruh dalam perkembangan diri saya. Kuliah, atau merantau. Tetapi saya merasakan perubahan yang begitu kentara dalam diri saya ketika masuk ke semester dua perkuliahan. Saya, yang dulunya begitu takut ke mana-mana bahkan hanya untuk membeli makanan di minimarket pun, sekarang tidak gentar ketika pergi menonton bioskop sendirian. Saya, yang dulunya bangun tidur harus dibangunkan orang tua, sekarang bisa bangun subuh sendiri dengan bantuan alarm. Saya, yang dulunya tidak berani untuk pergi sendirian dari Curup ke Bengkulu, sekarang tidak merasa gentar sama sekali menempuh perjalanan dari Palembang ke Curup atau Curup ke Palembang sendirian, bahkan saya pernah pergi ke Makassar untuk conference hanya berdua dengan teman yang bergantung sekali dengan saya, dan tidak merasa takut sama sekali. Saya yang dulunya sangat sensitif, sekarang jauh bisa lebih memaklumi cara berkomunikasi orang yang berbeda dengan saya. Saya yang dulunya untuk menyapu kamar pun malas, sekarang sudah bisa menata dan membersihkan kost-an saya yang lumayan besar karena bentuknya yang berupa kontrakan.

Dulu, saya begitu kesal jika mengerjakan tugas sekolah yang banyak hingga tengah malam. Tetapi saat kuliah, saya tidak bisa mengeluh. Tugas kuliah jauh lebih banyak dan lebih memberatkan daripada tugas sekolah, tentu saja. Apalagi saya yang merupakan mahasiswi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang harus selalu menulis makalah untuk tugas. Sifat buruk saya yang hingga sekarang masih saya coba hilangkan perlahan adalah menunda pekerjaan. Tugas-tugas yang menumpuk tadi selalu saya kerjakan H-1 deadline dan selalu berakhir dengan saya tidur jam 2 pagi bahkan pernah hampir tidak tidur sama sekali.

Pernah juga saya mendapat cerita dari teman yang berkuliah di Pulau Jawa tepatnya Solo. Dia adalah mahasiswi Ilmu Gizi di salah satu universitas di sana. Pada saat saya sudah libur ketika bulan ramadhan tahun lalu, teman saya ini masih berkuliah. Saat itu, ia sedang menjalani praktikum analisis zat gizi. Praktikum itu dimulai dari jam 3 sore dan ternyata menghabiskan waktu yang cukup lama tanpa ada pemberitahuan sebelumnya dari dosen yang mengawasi praktikum. Padahal seingatnya saat itu adalah minggu pertama bahkan hari pertama puasa. Akhirnya teman saya dan teman-temannya berbuka puasa di kampus. Untungnya, ada temannya yang membawa wafer satu bungkus, air mineral satu botol, dan jus buah satu kotak, karena pada saat itu praktikumnya menggunakan jus buah sebagai bahan praktikum. Jadi saat berbuka puasa, satu orang hanya bisa minum 1-2 teguk air mineral atau jus buah yang ada dan wafer yang didapat sangat sedikit karena dibagi ke banyak orang. Pada hari itu, mereka bahkan pulang setelah orang-orang sudah bergegas untuk sholat tarawih.

Poin yang saya tekankan dari cerita ini hanya satu: kita tidak boleh manja. Jika sudah merasakan perkuliahan, hal ini akan menjadi hal yang sangat biasa bagi mahasiswa. Kuliah bukan berarti kita hanya bersenang-senang atau bersusah-susah saja. Semua akan seimbang jika kita tahu porsi yang pas untuk keduanya. Setelah hampir dua tahun kuliah, saya bersyukur saya bisa menikmati kehidupan kuliah di kota orang. Banyak sekali hal yang bisa saya pelajari dan pengalaman yang begitu berkesan bagi saya.

Perubahan yang terjadi pada saya ini merupakan suatu hal yang besar dan sangat baik bagi saya. Ketika ingat perkataan orang-orang yang dulu katakan kepada saya, saya semakin yakin bahwa pilihan saya kuliah di luar kota itu benar.

“Kuliah di luar kota berarti tidak ingat kampung halaman, dong?”
“Ngapain kuliah di luar kota? Bengkulu kan juga bagus. Tidak mau memajukan Bengkulu, ya?”

Salah besar. Saya kuliah jauh dari kampung halaman saya karena saya ingin belajar dari kota ini. Saya ingin belajar di kota-kota lain. Saya ingin mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Saya ingin belajar dari orang lain, untuk memajukan daerah saya. Saya ingin belajar hidup mandiri dan belajar untuk tidak bergantung pada orang tua. Saya ingin belajar bisa mengatur waktu dan uang saya dengan baik. Intinya adalah: saya ingin banyak belajar.

Banyak orang yang bilang kuliah tidak seindah yang ditampilkan pada FTV; benar. Pada semester pertama saya di kuliah, saya merasakan kehidupan yang cukup berat. Dari tugas kuliah yang bertumpuk (percayalah, tugas kelompok akan jauh lebih menyulitkan daripada tugas individu), teman-teman yang rata-rata sudah punya circle pertemanan sendiri, dan orang-orang di sekitar yang cara berkomunikasinya agak lebih keras daripada di daerah saya. Saya mempunyai solusi tersendiri untuk masalah ini.

Saat awal kuliah, saya sedang gencar-gencarnya mendaftar di UKM, komunitas, atau organisasi, yang sekarang hanya tersisa beberapa yang benar-benar saya dalami. Saya menemukan organisasi, AIESEC namanya, yang bergerak di bidang kepemimpinan yang sangat berbeda dengan organisasi lain pada umumnya. Dari struktur hingga prosedur mendapatkan jabatan. Tapi, bukan ini yang ingin saya bahas. Bergabung dengan AIESEC, membuat saya benar-benar bisa bernapas lega. Atmosfir organisasi ini begitu menyenangkan karena hampir semua anggotanya adalah pemuda-pemuda yang open minded dan jauh lebih bersahabat daripada teman-teman kuliah saya pada saat itu. Teman-teman di AIESEC-lah yang berhasil membuat saya betah berada di Palembang pada saat itu. Logat Bengkulu saya yang begitu kentara saat berbicara bahasa Palembang sama sekali tidak mereka hiraukan. Berbeda sekali dengan teman-teman saya di kuliah, lagi, pada saat itu. Hingga sekarang saya yang sama sekali tidak pernah berorganisasi di SMA, masih bertahan di AIESEC selama hampir dua tahun karena atmosfir menyenangkan yang ada di dalamnya.

Berbicara tentang teman kuliah, sepertinya mereka yang berperan besar dalam ketidaknyamanan saya pada masa awal kuliah. Beberapa teman di kelas saya sudah membuat kelompoknya sendiri karena mayoritas mereka berasal dari sekolah yang sama. Selain itu, cara berkomunikasi mereka memang lebih keras daripada teman-teman saya di sekolah dulu. Tapi seiring berjalannya waktu, ternyata mereka tidak seburuk yang saya pikirkan. Mungkin saat itu saya masih sangat sensitif dengan perubahan yang ada di sekitar saya. Poin plusnya adalah, sekarang saya sudah lumayan bisa menggunakan emotional intelligence saya. Dan lagi, saya berhasil menemukan sahabat-sahabat baru yang menemani saya dalam suka maupun duka.

Pada masa kuliah, saya juga pernah menghasilkan prestasi bersama teman-teman saya. Saat itu Trans Corp datang ke Palembang untuk mengadakan Seminar dan Workshop Trans 7. Saya yang adalah mahasiswi Ilmu Komunikasi tentu saja tertarik dan mendaftarkan diri untuk acara itu. Di sana, saya mendapatkan ilmu yang berguna untuk saya sebagai mahasiswi Ilmu Komunikasi. Pada saat itu, dalam workshop-nya, diadakan sebuah lomba membuat liputan untuk ditayangkan pada Trans 7 nantinya. Dalam kelompok saya, saya berkesempatan untuk menjadi campers atau camera person. Singkat cerita, saya dan kelompok saya berhasil membuat liputan dan meraih juara pertama.

Selain itu, saya juga pernah mengikuti national conference AIESEC yang berada di Bandung dan Makassar. Saya pernah menjadi panitia dalam acara Youth Speak Forum Palembang 2016 dan menjabat menjadi staf Digital Public Relation di AIESEC. Di AIESEC juga, saat ini, saya sedang menjalani jabatan sebagai Project and Research oGT Manager di Marketing Department yang dalam bahasa manusianya yaitu Kepala Sub-Divisi bagian Marketing. Sekarang saya juga merupakan salah satu pengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak di daerah Kapten A. Rivai, Palembang, melalui komunitas yang saya ikuti, Sobat Kecil. Hal-hal yang tidak pernah saya pikirkan akan terjadi pada saya pada saat SMA. Hal-hal yang terjadi di hidup saya hanya karena saya memutuskan untuk berani mencoba.

Tentu, keberhasilan ini hanya segelintir dari kegagalan-kegagalan yang pernah saya rasakan. Saya pernah tidak diterima di satu posisi di organisasi saya, saya pernah tidak menang dalam kompetisi menulis, saya pernah tidak diizinkan untuk mengikuti conference, saya pernah absen kuliah karena kegiatan organisasi, dan saya juga pernah mendapatkan nilai C dalam mata kuliah yang saya ikuti. Tetapi tentu saja hal ini tidak menggoyahkan semangat saya. Jika saya gagal dan menyerah, saya tidak akan bisa mendapatkan keberhasilan-keberhasilan kecil yang saya rasakan saat ini.

Cerita saya ini juga membuktikan bahwa mahasiswa-mahasiswi Bengkulu tidak kalah dengan mereka yang berasal dari kota lain. Kita tidak kalah dengan mahasiswa-mahasiswi yang berasal dari kota besar. Banyak sekali teman saya yang mempunyai jabatan tinggi di organisasi, kuliah di luar negeri, menang kompetisi di mana-mana, yang semuanya merupakan mahasiswa dan mahasiswi asli Bengkulu. Kuliah di luar kota memberikan pengalaman dan ilmu untuk kita agar kita bisa membangun Bengkulu yang lebih baik nantinya. Sebenarnya bagi saya, kuliah di manapun tidak apa-apa, asal kita mempunyai keinginan dan tekad yang kuat untuk belajar. Tapi jika kita diberi kesempatan untuk merasakan dan belajar dari kehidupan di kota atau bahkan negara lain, tidak ada salahnya kan?

Saya berharap setelah ini, beberapa tahun yang akan datang, kita bisa membuat Bengkulu menjadi lebih baik. Akan sangat bermanfaat jika kita mempunyai ruang untuk mengasah kreativitas mahasiswa nantinya. Bukan hanya yang menunjang kemampuan akademik, tapi juga emosional dan sosial. Adanya Mudo Bengkulu Kito juga merupakan salah satu inovasi dari mahasiswa-mahasiswi Bengkulu untuk berkarya dan melakukan gerakan nyata untuk provinsi Bengkulu tercinta. Karena kalau bukan kita sebagai pemuda yang memulai perubahan, siapa lagi?

4 comments: