Sejak
kecil, saya sudah merancang impian saya di masa depan. Kuliah di luar kota
adalah salah satunya. Dari dulu, saya selalu bermimpi ingin kuliah di Pulau
Jawa. Impian ini masih terus berlangsung hingga akhirnya saya benar-benar tamat
dari SMA. SNMPTN, SBMPTN, bahkan ujian mandiri saya ikuti dengan selalu memilih
universitas yang ada di Pulau Jawa, baik universitas negeri maupun universitas
swasta. Tapi akhirnya, impian itu berakhir ketika saya akhirnya lulus di salah
satu universitas negeri di Sumatera. Sedih? Tidak. Karena saya begitu bahagia
bisa lulus di universitas negeri untuk pertama kalinya.
Sebenarnya,
salah satu alasan saya memilih kuliah di Pulau Jawa adalah karena saya ingin
bisa hidup mandiri. Pulau Jawa begitu jauh dari provinsi saya, Bengkulu.
Apalagi saat itu saya lebih fokus untuk ikut tes masuk universitas-universitas
di Yogyakarta, yang untuk mencapainya pun harus dua kali naik pesawat dari
Bengkulu. Berbeda dengan tempat saya kuliah sekarang, Palembang, yang terbilang
lumayan dekat jika dibandingkan dengan Yogyakarta. Saya adalah ukuran anak
bungsu yang sesuai dengan apa yang orang lain biasa pikirkan. Bergantung dengan
orang tua, tidak berani sendirian ke mana-mana, bangun pagi harus dibangunkan,
dan yang paling saya takutkan dulu adalah pergi jauh ke luar kota sendirian.
Jujur, Palembang adalah kota yang tepat untuk perkembangan diri saya. Palembang
adalah kota yang keras menurut orang-orang yang pernah saya temui. Dan saya
mengakuinya.
Pertama
kali merasakan hidup di kota orang dan kota itu adalah Palembang, berhasil
membuat saya merasakan culture shock.
Aneh? Mungkin. Karena pasti kebanyakan orang berpikir hidup di daerah manapun
di Indonesia akan sama rasanya. Anda salah. Budaya daerah lain dengan daerah
asal kita begitu berbeda, walaupun dalam konteks saya, daerah ini sama-sama
berada di Pulau Sumatera. Semester awal kuliah adalah masa-masa di mana saya
berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan. Semester yang cukup berat untuk
saya, anak manja yang baru merasakan beratnya hidup di kota orang. Untungnya,
saat tahun pertama kuliah, saya tinggal dengan kakak perempuan saya yang sedang
menempuh kuliah di tahun akhirnya. Keberadaan kakak sangat membantu saya karena
kakak adalah satu-satunya keluarga saya di Palembang.
Dalam
masa-masa penyesuaian diri itu, saya kadang teringat perkataan beberapa orang
di sekitar saya dulu ketika SMA.
“Kenapa
mau jauh-jauh kuliah? Di Bengkulu kan ada.”
“Jurusan
ini juga bagus di Bengkulu, kenapa mau jauh sekali ke Pulau Jawa?”
Saat
itu, saya sama sekali tidak setuju dengan perkataan mereka. Sebab sebenarnya
tujuan saya kuliah di Pulau Jawa adalah karena saya ingin mencoba merasakan
kehidupan di sana, di kota besar yang tentu lebih bagus dari Bengkulu.
Sekarang? Saya tetap tidak setuju dengan perkataan itu. Tapi sekarang alasan
saya berbeda: karena saya ingin banyak belajar dan mengembangkan diri saya di
kota orang.
Saya
tidak tahu mana yang paling berpengaruh dalam perkembangan diri saya. Kuliah,
atau merantau. Tetapi saya merasakan perubahan yang begitu kentara dalam diri
saya ketika masuk ke semester dua perkuliahan. Saya, yang dulunya begitu takut
ke mana-mana bahkan hanya untuk membeli makanan di minimarket pun, sekarang tidak
gentar ketika pergi menonton bioskop sendirian. Saya, yang dulunya bangun tidur
harus dibangunkan orang tua, sekarang bisa bangun subuh sendiri dengan bantuan
alarm. Saya, yang dulunya tidak berani untuk pergi sendirian dari Curup ke
Bengkulu, sekarang tidak merasa gentar sama sekali menempuh perjalanan dari
Palembang ke Curup atau Curup ke Palembang sendirian, bahkan saya pernah pergi
ke Makassar untuk conference hanya
berdua dengan teman yang bergantung sekali dengan saya, dan tidak merasa takut
sama sekali. Saya yang dulunya sangat sensitif, sekarang jauh bisa lebih
memaklumi cara berkomunikasi orang yang berbeda dengan saya. Saya yang dulunya untuk
menyapu kamar pun malas, sekarang sudah bisa menata dan membersihkan kost-an
saya yang lumayan besar karena bentuknya yang berupa kontrakan.
Dulu,
saya begitu kesal jika mengerjakan tugas sekolah yang banyak hingga tengah
malam. Tetapi saat kuliah, saya tidak bisa mengeluh. Tugas kuliah jauh lebih
banyak dan lebih memberatkan daripada tugas sekolah, tentu saja. Apalagi saya
yang merupakan mahasiswi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang harus
selalu menulis makalah untuk tugas. Sifat buruk saya yang hingga sekarang masih
saya coba hilangkan perlahan adalah menunda pekerjaan. Tugas-tugas yang
menumpuk tadi selalu saya kerjakan H-1 deadline
dan selalu berakhir dengan saya tidur jam 2 pagi bahkan pernah hampir tidak
tidur sama sekali.
Pernah
juga saya mendapat cerita dari teman yang berkuliah di Pulau Jawa tepatnya
Solo. Dia adalah mahasiswi Ilmu Gizi di salah satu universitas di sana. Pada
saat saya sudah libur ketika bulan ramadhan tahun lalu, teman saya ini masih
berkuliah. Saat itu, ia sedang menjalani praktikum analisis zat gizi. Praktikum
itu dimulai dari jam 3 sore dan ternyata menghabiskan waktu yang cukup lama
tanpa ada pemberitahuan sebelumnya dari dosen yang mengawasi praktikum. Padahal
seingatnya saat itu adalah minggu pertama bahkan hari pertama puasa. Akhirnya
teman saya dan teman-temannya berbuka puasa di kampus. Untungnya, ada temannya
yang membawa wafer satu bungkus, air mineral satu botol, dan jus buah satu
kotak, karena pada saat itu praktikumnya menggunakan jus buah sebagai bahan
praktikum. Jadi saat berbuka puasa, satu orang hanya bisa minum 1-2 teguk air
mineral atau jus buah yang ada dan wafer yang didapat sangat sedikit karena
dibagi ke banyak orang. Pada hari itu, mereka bahkan pulang setelah orang-orang
sudah bergegas untuk sholat tarawih.
Poin
yang saya tekankan dari cerita ini hanya satu: kita tidak boleh manja. Jika
sudah merasakan perkuliahan, hal ini akan menjadi hal yang sangat biasa bagi
mahasiswa. Kuliah bukan berarti kita hanya bersenang-senang atau bersusah-susah
saja. Semua akan seimbang jika kita tahu porsi yang pas untuk keduanya. Setelah
hampir dua tahun kuliah, saya bersyukur saya bisa menikmati kehidupan kuliah di
kota orang. Banyak sekali hal yang bisa saya pelajari dan pengalaman yang
begitu berkesan bagi saya.
Perubahan
yang terjadi pada saya ini merupakan suatu hal yang besar dan sangat baik bagi
saya. Ketika ingat perkataan orang-orang yang dulu katakan kepada saya, saya
semakin yakin bahwa pilihan saya kuliah di luar kota itu benar.
“Kuliah
di luar kota berarti tidak ingat kampung halaman, dong?”
“Ngapain
kuliah di luar kota? Bengkulu kan juga bagus. Tidak mau memajukan Bengkulu,
ya?”
Salah
besar. Saya kuliah jauh dari kampung halaman saya karena saya ingin belajar
dari kota ini. Saya ingin belajar di kota-kota lain. Saya ingin mencari ilmu
sebanyak-banyaknya. Saya ingin belajar dari orang lain, untuk memajukan daerah
saya. Saya ingin belajar hidup mandiri dan belajar untuk tidak bergantung pada
orang tua. Saya ingin belajar bisa mengatur waktu dan uang saya dengan baik.
Intinya adalah: saya ingin banyak belajar.
Banyak
orang yang bilang kuliah tidak seindah yang ditampilkan pada FTV; benar. Pada
semester pertama saya di kuliah, saya merasakan kehidupan yang cukup berat.
Dari tugas kuliah yang bertumpuk (percayalah, tugas kelompok akan jauh lebih
menyulitkan daripada tugas individu), teman-teman yang rata-rata sudah punya circle pertemanan sendiri, dan
orang-orang di sekitar yang cara berkomunikasinya agak lebih keras daripada di
daerah saya. Saya mempunyai solusi tersendiri untuk masalah ini.
Saat
awal kuliah, saya sedang gencar-gencarnya mendaftar di UKM, komunitas, atau
organisasi, yang sekarang hanya tersisa beberapa yang benar-benar saya dalami.
Saya menemukan organisasi, AIESEC namanya, yang bergerak di bidang kepemimpinan
yang sangat berbeda dengan organisasi lain pada umumnya. Dari struktur hingga prosedur
mendapatkan jabatan. Tapi, bukan ini yang ingin saya bahas. Bergabung dengan
AIESEC, membuat saya benar-benar bisa bernapas lega. Atmosfir organisasi ini
begitu menyenangkan karena hampir semua anggotanya adalah pemuda-pemuda yang open minded dan jauh lebih bersahabat
daripada teman-teman kuliah saya pada saat itu. Teman-teman di AIESEC-lah yang
berhasil membuat saya betah berada di Palembang pada saat itu. Logat Bengkulu
saya yang begitu kentara saat berbicara bahasa Palembang sama sekali tidak
mereka hiraukan. Berbeda sekali dengan teman-teman saya di kuliah, lagi, pada
saat itu. Hingga sekarang saya yang sama sekali tidak pernah berorganisasi di
SMA, masih bertahan di AIESEC selama hampir dua tahun karena atmosfir
menyenangkan yang ada di dalamnya.
Berbicara
tentang teman kuliah, sepertinya mereka yang berperan besar dalam
ketidaknyamanan saya pada masa awal kuliah. Beberapa teman di kelas saya sudah
membuat kelompoknya sendiri karena mayoritas mereka berasal dari sekolah yang
sama. Selain itu, cara berkomunikasi mereka memang lebih keras daripada
teman-teman saya di sekolah dulu. Tapi seiring berjalannya waktu, ternyata
mereka tidak seburuk yang saya pikirkan. Mungkin saat itu saya masih sangat
sensitif dengan perubahan yang ada di sekitar saya. Poin plusnya adalah,
sekarang saya sudah lumayan bisa menggunakan emotional intelligence saya. Dan lagi, saya berhasil menemukan
sahabat-sahabat baru yang menemani saya dalam suka maupun duka.
Pada
masa kuliah, saya juga pernah menghasilkan prestasi bersama teman-teman saya.
Saat itu Trans Corp datang ke Palembang untuk mengadakan Seminar dan Workshop
Trans 7. Saya yang adalah mahasiswi Ilmu Komunikasi tentu saja tertarik dan
mendaftarkan diri untuk acara itu. Di sana, saya mendapatkan ilmu yang berguna
untuk saya sebagai mahasiswi Ilmu Komunikasi. Pada saat itu, dalam
workshop-nya, diadakan sebuah lomba membuat liputan untuk ditayangkan pada
Trans 7 nantinya. Dalam kelompok saya, saya berkesempatan untuk menjadi campers atau camera person. Singkat cerita, saya dan kelompok saya berhasil
membuat liputan dan meraih juara pertama.
Selain
itu, saya juga pernah mengikuti national
conference AIESEC yang berada di Bandung dan Makassar. Saya pernah menjadi
panitia dalam acara Youth Speak Forum Palembang 2016 dan menjabat menjadi staf
Digital Public Relation di AIESEC. Di AIESEC juga, saat ini, saya sedang
menjalani jabatan sebagai Project and Research oGT Manager di Marketing Department
yang dalam bahasa manusianya yaitu Kepala Sub-Divisi bagian Marketing. Sekarang
saya juga merupakan salah satu pengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak di
daerah Kapten A. Rivai, Palembang, melalui komunitas yang saya ikuti, Sobat
Kecil. Hal-hal yang tidak pernah saya pikirkan akan terjadi pada saya pada saat
SMA. Hal-hal yang terjadi di hidup saya hanya karena saya memutuskan untuk
berani mencoba.
Tentu,
keberhasilan ini hanya segelintir dari kegagalan-kegagalan yang pernah saya
rasakan. Saya pernah tidak diterima di satu posisi di organisasi saya, saya
pernah tidak menang dalam kompetisi menulis, saya pernah tidak diizinkan untuk
mengikuti conference, saya pernah
absen kuliah karena kegiatan organisasi, dan saya juga pernah mendapatkan nilai
C dalam mata kuliah yang saya ikuti. Tetapi tentu saja hal ini tidak
menggoyahkan semangat saya. Jika saya gagal dan menyerah, saya tidak akan bisa
mendapatkan keberhasilan-keberhasilan kecil yang saya rasakan saat ini.
Cerita
saya ini juga membuktikan bahwa mahasiswa-mahasiswi Bengkulu tidak kalah dengan
mereka yang berasal dari kota lain. Kita tidak kalah dengan mahasiswa-mahasiswi
yang berasal dari kota besar. Banyak sekali teman saya yang mempunyai jabatan
tinggi di organisasi, kuliah di luar negeri, menang kompetisi di mana-mana,
yang semuanya merupakan mahasiswa dan mahasiswi asli Bengkulu. Kuliah di luar
kota memberikan pengalaman dan ilmu untuk kita agar kita bisa membangun
Bengkulu yang lebih baik nantinya. Sebenarnya bagi saya, kuliah di manapun
tidak apa-apa, asal kita mempunyai keinginan dan tekad yang kuat untuk belajar.
Tapi jika kita diberi kesempatan untuk merasakan dan belajar dari kehidupan di
kota atau bahkan negara lain, tidak ada salahnya kan?
Saya
berharap setelah ini, beberapa tahun yang akan datang, kita bisa membuat
Bengkulu menjadi lebih baik. Akan sangat bermanfaat jika kita mempunyai ruang
untuk mengasah kreativitas mahasiswa nantinya. Bukan hanya yang menunjang
kemampuan akademik, tapi juga emosional dan sosial. Adanya Mudo Bengkulu Kito
juga merupakan salah satu inovasi dari mahasiswa-mahasiswi Bengkulu untuk
berkarya dan melakukan gerakan nyata untuk provinsi Bengkulu tercinta. Karena kalau
bukan kita sebagai pemuda yang memulai perubahan, siapa lagi?
mantaaaap
ReplyDeletetengkyuuu!
Deleteakhirnya menyentuh sekali chibel. keep your spirit and motivation!
ReplyDeleteomggg makasih ka seduuu!:")<3
Delete